saya in laki lakii hebat yang pantang menyerah apa lagi tentang cita dan cinta... kenali aku lebih dekat karena aku laki laki yang suka bercanda gurau..
Rabu, 22 Desember 2010
peranan keraton cirebon terhadap perkembangan islam
== Sejarah ==
Menurut ''Sulendraningrat'' yang mendasarkan pada naskah [[Babad Tanah Sunda]] dan [[Atja]] pada naskah ''Carita Purwaka Caruban Nagari'', [[Cirebon]] pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama ''Caruban'' ([[Bahasa Sunda]]: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (''belendrang'') dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan ''cai-rebon'' (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi ''Cirebon''.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan [[Nusantara]] maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
== Perkembangan awal ==
=== Ki Gedeng Tapa ===
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
=== Ki Gedeng Alang-Alang ===
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
== Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati) ==
=== Pangeran Cakrabuana (…. –1479) ===
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
=== Sunan Gunung Jati (1479-1568) ===
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari [[Mesir]], yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan [[Sunan Gunung Jati]] dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai ''Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah''.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan [[Kesultanan Banten]] serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti [[Majalengka]], [[Kuningan]], [[Kawali]] (Galuh), [[Sunda Kelapa]], dan [[Banten]].
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
=== Fatahillah (1568-1570) ===
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh [[Fatahillah]] atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
=== Panembahan Ratu I (1570-1649) ===
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
=== Panembahan Ratu II (1649-1677) ===
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu [[Kesultanan Banten]] dan [[Kesultanan Mataram]]. [[Banten]] merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke [[Mataram]] ([[Amangkurat I]] adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan [[Sultan Ageng Tirtayasa]] dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah [[menantu]] [[Sultan Agung Hanyakrakusuma]] dari [[Kesultanan Mataram]]. Makamnya di [[Jogjakarta]], di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di [[Imogiri, Bantul|Imogiri]], [[Kabupaten Bantul]]. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
== Terpecahnya Kesultanan Cirebon ==
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu [[Trunojoyo]], yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.
=== Perpecahan I (1677) ===
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
* Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
* Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
* Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi [[Sultan]] Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai ''kaprabonan'' (''paguron''), yaitu tempat belajar para intelektual keraton.
Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi [[keraton]], di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
=== Perpecahan II (1807) ===
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya ''besluit'' ([[Bahasa Belanda]]: surat keputusan) [[Gubernur-Jendral]] [[Hindia Belanda]] yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
== Masa kolonial dan kemerdekaan ==
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan [[Republik Indonesia]]. Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
== Perkembangan terakhir ==
Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam [[:fr:Festival des cours royales d'Indonésie|Festival Keraton Nusantara]] (FKN).
Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.
Senin, 15 November 2010
hadits
Pengertian Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
• Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
o Hadits Mutawatir
o Hadits Ahad
Hadits Shahih
Hadits Hasan
Hadits Dha'if
• Menurut Macam Periwayatannya
o Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
o Hadits yang terputus sanadnya
Hadits Mu'allaq
Hadits Mursal
Hadits Mudallas
Hadits Munqathi
Hadits Mu'dhol
• Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
o Hadits Maudhu'
o Hadits Matruk
o Hadits Mungkar
o Hadits Mu'allal
o Hadits Mudhthorib
o Hadits Maqlub
o Hadits Munqalib
o Hadits Mudraj
o Hadits Syadz
• Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
• Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi
I.A. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
1. Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
I.B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
I.B.1. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
2. Harus bersambung sanadnya
3. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
4. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
5. Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.
I.B.2. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
I.B.3. Hadits Dha'if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
II. Menurut Macam Periwayatannya
II.A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
II.B. Hadits yang terputus sanadnya
II.B.1. Hadits Mu'allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.
II.B.2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
II.B.3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
II.B.4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.
II.B.5. Hadits Mu'dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.
III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
III.A. Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
III.B. Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
III.C. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
III.D. Hadits Mu'allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).
III.E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
III.F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
III.G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
III.H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
III.I. Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.
IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
IV.A. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
IV.B. As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
1. Imam Ahmad
2. Imam Bukhari
3. Imam Muslim
4. Imam Abu Daud
5. Imam Tirmidzi
6. Imam Nasa'i
7. Imam Ibnu Majah
IV.C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
IV.D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
IV.E. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
IV.F. Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
IV.G. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
IV.H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.
IV.I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Riyadhus Shalihin
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/hadits
Macam-macam Hadist
1 dari 1 Kompasianer menilai Bermanfaat.
Tingkatan dan Jenis Hadits
1. Hadits Shohih (Sah/benar/sehat)
2. Hadits Hasan (Bagus/Baik)
3. Hadits Dho’if (Lemah)
4. Hadits Marfu’ (Semua sanadnya bersandar kepada Rasulullah Saw)
5. Hadits Mushahhaf (Kesalahan terjadi pada catatan / bacaannya)
6. Hadits Muttasil (Sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Saw)
7. Hadits Mauquf (Sanadnya boleh jadi bersambung, boleh jadi terputus)
8. Hadits Mun-qoti’ (Dho’if, karena terputus sanadnya)
9. Hadits Mursal (Dho’if dan Mardud)
10. Hadits Mu’allal (Terselubung cacatnya / merusak keshohihan Hadits)
11. Hadits Ghorib (Yang menyendiri)
12. Hadits Masyhur (Nyata)
13. Hadits Mudallas (Gelap / Menyembunyikan cacat dalam sanad)
14. Hadits Mutawatir (Berturut Sanadnya)
15. Hadits Syadz (Bertentangan)
16. Hadits Mudraj (Ada tambahan, yang bukan bagian dari Hadits)
17. Hadits Maqlub (Dho’if. Karena ada pergantian lafaz)
18. Hadits Mudhtorib (Rusak susunan)
19. Hadits Mu’adhal (Menggugurkan dua Perawi aslinya)(Hukumnya Dho’if)
20. Hadits Matruk (Dho’if yang paling buruk. Perawinya tertuduh Pendusta)
21. Hadits Maudhu’ (Palsu. Kebohongan yang diciptakan dan disandarkan kepada Rasul Saw)
22. Hadits Munkar (Cacat dan Palsu perawinya kedapatan berbuat Fasiq)
Jika Hadits-hadits yang kita baca terdapat Keterangan yang mengatakan seperti dibawah ini :
7 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
6 Imam : Al-Bukhari. Muslim. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy dan Ibnu Majah.
5 Imam : Ahmad. Abu Daud. At-Turmudzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
4 Imam : Ahmad. At-tirimidzy. An-Nasa’iy. Ibnu Majah.
3 Imam : Abu Daud. At-turmudzy. An-Nasaiy.Muttafaqun ‘Alaih : Al-Bukhari dan Muslim.
Banyak orang yang berjiwa ta’at dan patuh kepada Agama. Tetapi karena pengetahuannya tentang Hadits sangat terbatas, sehingga ia nampak seperti orang yang hidup dalam kegelapan. Yaitu meraba-raba dan seperti berjalan tiada tentu arah tujuan. Tidak ada pegangan yang menimbulkan ketenangan dalam hati untuk menetapkan langkahnya. Dan ia akan berhati-hati dengan tidak ada alasan. Kadang-kadang mereka bisa bersikap sangat pemberani (agresip). Padahal ia berbuat salah. Maka untuk menghindarkan segala sifat yang buruk dan merugikan diri sendiri seperti yang demikian itu !!! Hendaknya kita selalu mencari tambahan ilmu tentang Hadits. Dengan demikian kita berjalan menurut Cahaya yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw. kepada seluruh umatnya. Kita mengharap kepada Allah SWT semoga kita jangan sampai terperangkap dengan Hadits-hadits palsu !!! Yang pada akhirnya kita sendiri yang akan rugi. Karena dari dahulu hingga sekarang. Kebanyakan dari kita, hanya menerima Cerita-cerita Israiliyat yang sampai kepada kita melalui cerita entah berantah, lalu kita katakan itu adalah Hadits Nabi Saw. Maka sanksinya adalah Neraka !Oleh karena itu. Wajib bagi kita belajar lagi untuk memperhalus kaji. Agar jangan menjadi orang yang hanya ikut-ikutan saja, alias ikut saja apa kata orang. Yakni bertaqlid buta (tiada ‘ilmu). Ingatlah ! Neraka tetap menanti kehadiran orang yang demikian ini !Dan semoga para pembaca yang berminat dengan pelajaran ini, kita harapkan untuk mencari atau bertanya kepada Ahli Hadits yang banyak liku-likunya, karena maksud dari pelajaran ini bukan menguraikan ilmu Hadits, tetapi mengurai isi Hadits yang berkaitan dengan ketetapan Ibadah. Maka dipersilahkan menambah ‘ilmu kepada para Ahli Hadits yang Mu’tabar dimanapun ia berada.
Sunnah ada enam Kitab Hadits yang ternama, yang merupakan pegangan penjelasan utama bagi umat Islam. Keenam Kitab tersebut ialah :
1. Shohih Imam Al-Bukhari.
2. Shohih Imam Muslim.
3. Imam Abu Daud.
4. Imam An-Nasa’iy.
5. Shohih At-Turmudzy.
6. Imam Ibnu Majah.
Demikian serba sedikit tentang Hadit dan Sunnah Mungkin teman2 ada yang mau berkomen tentang hadist sok dari sekarang !
Macam-Macam Hadis
10 Jan 2010
• Ragam
• Republika
Hadis dapat diklasifikasikan berdasarkan dqa bagian utama, yaitu kuantitas dan kualitas perawinya. Klasifikasi berdasarkan kuantitas perawi ialah penggolongan hadis menurut banyak atau sedikitnya yang meriwayatkan hadis tersebut. Menurut klasifikasi ini, hadis terdiri atas hadis mutawattir dan ahad.
Hadis Mutawattir
Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang (biasanya banyak) dari awal sampai akhir sanad, dan orang-orang tersebut diyakini mustahil akan bersepakat untuk berbohong dalam men wayatkannya. Karenanya, para ulama sepakat hadis mutawattir harus diamalkan.Hadis mutawattir itu sendiri terdiri atas tiga bagian, yaitu mutawattir manawi(lafalnya banyak dan sama), mutawattir ma nawi(lafalnya banyak dan semakna. tetapi tidak sama), dan mutawattir manawi(merupakan perilaku yang sudah diamalkan oleh banyak orang dan diyakini berasal dari Nabi Muhammad SAW). Hadis mutawattir bersifat pasti dan memiliki kesederajatan hampir sama dengan Alquran. Keberadaan hadis mutawattir amat sedikit dibandingkan dengan hadis ahad.
Hadis Ahad
Hadis ahad terdiri atas tiga bagian, yaitu hadis masyhur, aziz, dan gharib. Masyhur ialah hadis yang diriwayatkan paling tidak oleh tiga jalur rawi dan tidak kurang dari tiga. Namun, ada juga ulama yang membedakan masyhur dan ahad. Pandangan ini dianut oleh para ulama mazhab Hanafi. Menurut mereka, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, tetapi tidak sampai derajat hadis mutawattir.Akan tetapi, kebanyakan ulama cenderung memasukkan hadis masyhur ke dalam hadis ahad. Jika diriwayatkan oleh dua jalur rawi, hadis itu disebut hadis aziz. Sedangkan, apabila diriwayatkan oleh satu jalur saja, maka disebut hadis gharib atau fard.
Hadis Sahih, Hasan, dan Dlaif
Status hadis juga dapat dinilai dari segi sanad. Pada klasifikasi ini hadis dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sahih, hasan, dan dlaif (lemah).Hadis sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan ulama hadis. Hadis sahih ini diriwayatkan oleh seseorang yang dipercaya, kuat hafalannya, dan jauh dari sifat tercela. Hadis sahih terdiri atas shahih li-zatihi (sahih dengan sendirinya) dan shahihghairu lizatih (sahih karena ada keterangan lain yang mendukungnya; seperti hadis hasan yang jumlahnya banyak).
Sementara itu, hadis hasan artinya hadis baik, yang memenuhi persyaratan, tetapi diriwayatkan oleh seseorang yang tidak terialu sempurna kekuatan hafalannya. Seperti halnya hadis sahih, hadis hasan terdiri atas dua bagian, yaitu hasan lt-zatihi (dengan sendirinya) dan hasan lizatihi (ada keterangan pendukung lain), yang didukung dengan adanya hadis yang tidak terlalu lemah menceritakan hal yang sama.Sedangkan, hadis dlaif ialah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahih atau hasan, karena periwayatannya yang terputus atau karena perawinya tidak memenuhi persyaratan, hadis dlaif tidak dapat dijadikan sumber hukum dan ketentuannya tidak boleh diamalkan.
Hadis dlaif ini dapat dilihat atas dua cara, yaitu bersambung atau tidaknya sanad dan tercetanya rawi, hadis dlaif yang dilihat dari bersambung atau tidaknya sanad meliputi hadis mursal, munqati, mudal, mudallas, muallaq, dan muallal. Adapun hadis dlaif yang disebabkan oleh tercelanya rawi ialah hadis maudlu. matruk, munkar, mudraj, maqlub, mudtarib, musahhaf, muharraf, mu-bham, majhul. mastur, syadz, dan mukhtalit.
Hadis Maudlu
Selain itu, dikenal pula hadis maudlu (palsu), yaitu sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, tetapi sesungguhnya itu bukan merupakan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi SAW. Meskipun ada yang berpendapat bahwa hadis maudlu sudah ada sejak masa Nabi SAW, namun jumhur (mayoritas) ahli hadis berpendapat bahwa hadis maudlu mulai terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, baik karena ketegasan dan kehati-hatian penwayatan hadis di masa kekhalifahan sebelumnya maupun situasi politik di masa Ali, di mana perbenturan berbagai kepentingan semakin meningkat.
Ciri-ciri hadis maudlu adalah (1) matan hadis tidak sesuai dengan kefasihan bahasa, kebaikan, kelayakan, dan kesopanan bahasa Nabi SAW; (2) bertentangan dengan Alquran, akal, dan kenyataan; (3) rawinya dikenal sebagai pendusta; (4) pengakuan sendiri dari pembuat hadis palsu tersebut; (5) ada petunjuk bahwa di antara rawinya terdapat pendusta dan (6) rawi menyangkal bahwa ia pernah memberikan riwayat kepada orang yang membuat hadis palsu tersebut.
Hadis Matruk
Hadis lemah lainnya adalah matruk, yaitu hadis yang perawinya tertuduh berdusta atau suka berdusta dalam pembicaraannya atau menampilkan kefasikan dalam pembicaraan dan perbuatannya atau memiliki amat banyak kesalahan serta kekeliruan dalam meriwayatkan hadis.
Hadis Marfu
Hadis marfu adalah hadis yang dlsandarkan kepada Nabi SAW secara khusus, baik sanadnya bersambung maupun tidak.nidia/trtagai sumber ad sya
Hadits Ahad
a. Pengertian
b. Macam-macamnya berdasarkan jalan periwayatan beserta contoh-contohnya.
c. Macam-macamnya berdasarkan derajatnya beserta contoh-contohnya.
d. Faedah-faedahnya.
a. Ahad (الاحاد).
Ahad adalah hadits selain yang muttawattir.
b. Macam-macam hadits ahad berdasarkan jalan periwayatan itu ada 3 macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan ghorib.
1. Masyhur (المشهور) adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi disetiap tingkatan, tapi belum sampai pada derajat muttawattir.Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,المسام من سلم المسلمون من لسانه و يده“
Muslim sejati adalah muslim yang saudaranya terbebas dari gangguan lisan dan tangannya.”
2. ‘Aziz (العزيز) adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua rowi saja dimasing-masing tingkatan. Contohnya perkataaan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده و الناس أجمعين
“Tidak sempurna iman kalian hingga Aku lebih dia cintai dari orang tua, anaknya bahkan manusia seluruhnya.”
3. Ghorib (الغريب) adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Contohnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى…“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu hanyalah dinilai bila disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh sesuai apa yang diniatkannya…(hingga akhir hadits)” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khotob rodhiallahu ‘anhu dan yang meriwayatkan dari Umar hanya ‘Alqomah ibn Abi Waqosh dan yang meriwayatkan dari ‘Alqomah hanya Muhammad ibn ibrohim Attaimi, dan yang meriwayatkan dari Muhammad hanya Yahya ibn Sa’id al Anshori. Kesemuanya adalah tabi’in, kemudian diriwayatkan dari Yahya oleh banyak orang.
c. Macam-macam hadits ahad berdasar derajatnya, yaitu shohih lidzatihi, shohih lighoirihi, hasan lidzatihi, hasan lighoirihi dan dho’if.
1. Shohih lidzatihi (shohih dengan sendirinya) (الصحيح لذاته). Shohih lidzatihi adalah hadits yang rowinya:
o Adil (عدل),
o Hafalannya kuat (تام الضبط),
o Sanadnya bersambung (بسند متصل),
o Terbebas dari kejanggalan dan kecacatan (سلم من الشذوذ و العلة القادحة).
Contohnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
من يرد اللّه به خيرا يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan maka akan difahamkan ilmu agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Cara mengetahui keshohihan suatu hadits itu dengan 3 perkara:
o Jika diketahui penulis buku hadits tersebut hanya mencantumkan hadits-hadits yang shohih saja dengan syarat penulis tersebut bisa dipercaya dalam melakukan penshohihan seperti Shohih Bukhori dan Muslim.
o Hadits tersebut dinilai shohih oleh imam yang penilaiannya dalam penshohihan itu bisa dipercaya, dan dia bukan termasuk orang yang terkenal mudah dalam memberikan nilai shohih.
o Meneliti sendiri rowinya dan bagaimana cara periwayatan rowi tersebut terhadap hadits.
Jika semua kriteria shohih lengkap, maka hadits tersebut dinilai sebagai hadits yang shohih.
2. Shohih lighoirihi (shohih dengan bantuan) (الصحيح لغيره).
Shohih lighoirihi adalah hadits hasan dengan sendirinya (hasan lidzatihi) apabila memiliki beberapa jalur periwayatan yang berbeda-beda. Misalnya,
Dari ‘Abdillah Ibn ‘Amr bin ‘Ash rodhiallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan dan ternyata kekurangan unta.
Maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuk kita unta perang dengan unta-unta yang masih muda.” Maka ia mengambil 2-3 unta muda dan mendapat 1 unta perang.
Hadits Ini diriwayatkan Ahmad dari jalan Muhammad bin Ishaq dan diriwayatkan Baihaqi dari jalan ‘Amr bin Syu’aib. Setiap jalan ini jika dilihat secara bersendirian tidak bisa sampai derajat shohih, hanya sampai hasan. Tapi jika dilihat secara total, maka jadilah hadits shohih lighoiri. Hadits ini dinamakan shohih lighoiri, walaupun nilai masing-masing jalan secara bersendirian tidak sampai derajat shohih, namun karena bila dinilai secara total bisa saling menguatkan hingga mencapai derajat shohih.
3. Hasan lidzatihi ( hasan dengan sendirinya) (الحسن لذاته).
Hasan lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh rowi yang adil tapi hafalannya kurang sempurna dengan sanad bersambung dan selamat dari keganjilan dan kecacatan. Jadi, tidak ada perbedaan antara hadits ini dengan hadits shohih lidzatihi kecuali dalam satu persyaratan, yaitu hadits hasan lidzatihi itu kalah dalam sisi hafalan.
Misalnya perkataan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
مفتاح الضلاة الطهور، و تحريمها التكبير، و تحليلها التسليم
“Sholat itu dibuka dengan bersuci, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”<
Hadits-hadits yang dimungkinkan hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud secara sendirian, demikian keterangan dari Ibnu Sholah.
4. Hasan lighoirihi (hasan dengan bantuan) (الحسن لغيره).
Hasan lighoirihi adalah hadits yang dho’ifnya ringan dan memiliki beberapa jalan yang bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya karena menimbang didalamnya tidak ada pendusta atau rowi yang pernah tertuduh membuat hadits palsu. Misalnya,Hadits dari Umar ibn Khatthab rodhiallahu’anhu berkata bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat kedua tangannya dalam do’a maka beliau tidak menurunkannya hingga mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. (HR. Tirmidzi)
Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom berkata, “Hadits ini memiliki banyak hadits penguat dari riwayat Abu Daud dan yang selainnya. Gabungan hadits-hadits tersebut menuntut agar hadits tersebut dinilai sebagai hadits hasan.
Dan dinamakan hasan lighoirihi karena jika hanya melihat masing-masing sanadnya secara bersendirian maka hadits tersebut tidak mencapai derajat hasan. Namun, bila dilihat keseluruhan jalur periwayatan maka hadits tersebut menjadi kuat hingga mencapai derajat hasan.
5. Hadits dho’if (الضعيف)
Hadits dho’if adalah hadits yang tidak memenuhi persyaratan shohih dan hasan. Misalnya,”Jagalah diri-diri kalian dari gangguan orang lain dengan buruk sangka.”
Dan yang kemungkinan besar merupakan hadits dho’if adalah hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan beliau bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.
d. Hadits-hadits ahad (selain hadits dho’if) memberi dua faedah:
1. Dzon, yaitu sangkaan kuat tentang sahnya penyandaran penukilan hadits dari seseorang. Dan hal ini bertingkat-tingkat sesuai tingkatnya masing-masing yang telah disebutkan. Terkadang hadits ahad memberi faedah ilmu jika ditemukan banyak indikator dan dikuatkan oleh ushul (kaedah pokok dalam syari’at)*.
—
* Misalnya dengan indikator (qorinah), hadits tersebut diterima oleh seluruh umat. Tidak ada yang menolaknya misal hadits innamal ‘amalu biniyat. Ini termasuk hadits ghorib, akan tetapi karena seluruh ulama menerimanya, maka ini adalah qorinah yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah benar-benar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Atau hadits tersebut didukung oleh ushul, yaitu didukung oleh kaedah pokok dalam syari’at. Ada banyak ayat yang menunjukkan. kebenaran maksud dari hadits tersebut. Maka ini merupakan indikasi kuat bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Atau itu adalah hadits yang muttafaqun ‘alaih. Meskipun itu adalah hadits ahad atau ghorib. Namun itu menjadi qorinah yang kuat. Ini pendapat yang dirojihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam masalah ini yaitu hadits ahad itu memberi faidah dzon kecuali ada qorinah. Jadi, hadits ahad itu memberi faidah ilmu (yakin) jika ada indikator-indikator pendukungnya. Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama, yaitu :Jika itu adalah hadits yang shohih meskipun ahad maka memberi faidah ilmu. Memberi makna yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya. Ini adalah madzhabnya Imam Ibn Hazm.Memberi faidah dzon.
Memberi makna keyakinan (’ilmu) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya jika ada indikator penguat (maka jika tidak ada penguat maka memberi faedah dzon). Dan ini adalah pendapat yang dipilih Syaikh Islam Ibnu Taimiyah
2. Mengamalkan kandungannya. Dengan mempercayainya jika berupa berita dan mempraktekkannya jika berupa tuntutan*.
* Baik tuntutan untuk mengerjakannya atau tuntutan untuk meninggalkannya. Jadi hadits ahad memberi faedah amal. Jika hadits itu berupa masalah aqidah berupa masalah khobar maka tetap wajib menjadikannya sebagai aqidah dan mempercayainya. Jadi ucapan ulama bahwa hadits ahad yang shahih itu memberi makna sangkaan kuat, itu sama sekali tidak ada hubungannya bahwa dalam masalah aqidah tidak diamalkan. Meskipun ada tiga pendapat untuk masalah ini, meskipun ulama yang memilih dzon secara mutlak sekalipun, namun mereka tetap beramal dengan hadits ahad dalam masalah aqidah dalam masalah khobar dengan mempercayai dan mengimaninya sebagai bagian dari aqidah. Inilah curangnya Hizbut Tahrir.
Ketika mereka mengatakannya bahwasannya mereka tidak mau menerima hadits ahad dalam masalah aqidah. Lalu mereka mengatakan yang mendukung kami adalah ulama ini, disebutkan satu dua tiga dst disebutkan. Padahal apa yang disebutkan oleh ulama tersebut bahwa hadits ahad memberi makna (dzon) sangkaan. Dan sangkaan yang dimaksudkan adalah sangkaan yang kuat bukan sekedar sangkaan. Sama sekali mereka tidak bermaksud dikarenakan itu memberi makna dzon kemudian tidak dipakai dalam masalah aqidah. Namun Hizbut Tahrir curang. Mereka katakan yang mendukung kami adalah ulama ini dan itu. Padahal ulama tersebut membicarakan dari segi itu memberi makna dzon atau tidak dan beliau merojihkan memberi makna dzon. Lalu apakah beliau mengatakan itu tidak diterima sebagai dalil dalam masalah aqidah? Tidak. Beliau tetap menerimanya sebagai dalil dalam masalah aqidah. Hanya saja ulama tersebut memilih memberi makna dzon. Karena mengamalkan hadits ahad dalam masalah aqidah adalah ijma ulama salaf. Sebagaimana dinukil oleh banyak ulama. Meskipun itu adalah hadits ahad, maka itu adalah memberi faidah amal dengan dijadikannya sebagai aqidah jika berisi masalah-masalah aqidah.
Adapun hadits yang dho’if, tidak memberi faedah dzon dan amal. Dan tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Tidak boleh pula menyebutkan hadits dho’if tanpa diiringi dengan penjelasan tentang dho’ifnya. Kecuali untuk masalah motivasi dan menakuti-nakuti (targhib wa tarhib). Maka diperbolehkan menyebutkan hadits dho’if dengan beberapa persyaratan menurut sebagian ulama. Sejumlah ulama memberi kemudahan untuk menyebutkan hadits dho’if dengan tiga syarat* .
—
*** Tiga syarat ini berasal dari Ibnu Hajar Al Asqolani. Kalau dalam masalah hukum, Imam Nawawi mengatakan bahwa ulama ijma tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if dalam masalah hukum. Dan ada perselisihan dalam masalah fadhoil amal/masalah targhib dan tarhib. Ada ulama yang menolak hadits yang dho’if untuk targhib dan tarhib sebagai dalil secara mutlak. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan Imam Muslim. Inilah pendapat yang dirojihkan Syaikh Al Imam Al bani di Muqodimmah Shohih Jami Shogir. Namun ada ulama yang membolehkan dengan persyaratan. Semacam Ibnu Hajar Al Asqolani. membolehkan dengan tiga persyaratan ini.
1. Dho’ifnya bukan dho’if yang sangat*.
—
* Dho’ifnya tidak sangat, mungkin karena mursal atau ada rowi yang majhul.
2. Hendaknya pokok amal yang disebutkan di dalamnya motivasi dan menakuti-nakuti ada berdasarkan hadits yang shohih*.
—
* Misalnya, sholat dhuha adalah sholat yang disyariatkan berdasar hadits yang shohih. Kemudian ada hadits dho’if yang dho’ifnya ringan berkenaan keutamaan sholat dhuha. Artinya sholat dhuhanya sudah masru’ (disyari’atkan) berdasar hadits yang shohih. Tsabit berdasar hadits yang shohih. Misalnya juga tentang sholat malam. Tentang sholat malam haditsnya shohih kemudian ada hadits yang dho’ifnya ringan menceritakan tentang keutamaan orang yang melaksanakan sholat malam. Namun amalnya sudah masru berdasar hadits yang shohih.
Jika amalnya belum jelas dalilnya, maka tidak boleh. Karena syaratnya ashlul amal (landasan beramal) terdapat dalil yang shohih. Misalnya ada satu hadis menyatakan keutamaan suatu amal dan tidak ada hadits shohih yang menyatakan disyariatkannya amalan ini maka tidak boleh menyebutkan hadits dho’if ini. Karena asal muasal amal yaitu ibadah yang hendak dimotivasi itu tidak disyariatkan sebab dasarnya adalah hadits yang shohih.
3. Tidak diyakini bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya*.
—
* Imam Albani rohimahullah mengatakan, “Jika tiga persyaratan ini diperhatikan oleh orang yang membolehkan hadits dho’if dalam fadhoilul a’mal maka selesai masalah”. Karena ketika menyampaikan dia tahu, misalnya ini adalah hadits mursal. Maka dia bisa memenuhi persyaratan ketiga karena tahu.Namun jika orangnya tidak mengetahui, ini lemahnya seberapa atau bahkan palsu bagaimana melakukan poin yang ketiga. Yang menjadi masalah ketika berdalil dengan hadits dho’if tentang suatu amal kemudian diingatkan mereka menyatakan, “Ini kan fadhoil amal/targhib dan tarhib. Kan boleh menurut sebagian ulama”.
Namun ketika ditanya, bagaimana dengan persyaratannyat. Pertama dho’ifnya tidak sangat dan syarat ketiga tidak boleh yakin bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya, mereka bahkan tidak tahu Oleh karena itu jika tiga syarat ini diperhatikan, maka selesai masalah. Namun tiga persyaratan tersebut tidak bisa dipenuhi kecuali oleh pakar hadits. Sehingga dia tidak meyakini bahwa itu adalah bukan hadits dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Berdasarkan keterangan di atas, maka faedah menyebutkan hadits dho’if ketika memotivasi suatu amal (targhib) adalah mendorong jiwa untuk melakukan amal yang dimotivasi untuk mengharapkan pahala itu. Kemudian jika mendapatkan pahala maka alhamdulillah dan jika tidak maka tidak menjadi masalah baginya kesungguhannya dalam beribadah. Karena ibadahnya disyari’atkan dan ada pahala di dalamnya. Karena orang tersebut masih mendapatkan pahala yang pokok, yaitu pahala asal amal yang berdasar hadits yang shohih yang merupakan konsekuensi melakukan suatu perkara yang diperintahkan. Sedangkan suatu perkara yang diperintahkan pasti ada pahalanya. Maka dia tidak kehilangan pahala yang asli.
Dan faidah menyebut hadits dho’if dalam tarhib adalah menakuti-nakuti jiwa untuk melakukan perkara yang ditakut-takutkan. Karena khawatir terjerumus dalam hukuman tersebut. Dan tidak masalah baginya jika dia menjauhinya dan tidak terjadi hukuman yang disebutkan.
A. Hadits Mutawatir
1. Definisi:
Yaitu suatu hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang diriwayatkan oleh oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta.
2. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Untuk bisa dikatakan sebagai hadits mutawatir, ada beberapa syarat minimal yang harus terpenuhi.
1. Pemberitaan yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan tanggapan pancainderanya sendiri
2. Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat dusta. Sebagian ulama menetapkan 20 orang berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Anfal:65. Sebagian yang lain menetapkan sejunlah 40 orang berdasarkan QS. Al-Anfal:64.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah perawi dalam lapisan berikutnya.
Karena syaratnya yang sedemikian ketat, maka kemungkinan adanya hadits mutawatirsedikit sekali dibandingkan dengan hadits-hadits ahad.
3. Klasifikasi hadits mutawatir
Hadits mutawatir itu sendiri masih terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitumutawatir lafdhy dan mutawatir ma’nawy. Hadits mutawatir lafzhy adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya. Atau boleh disebut juga dengan hadits yang mutawatir lafadznya.
Hadits mutawatir ma’nawy adalah hadits mutawatir yang perawinya berlainan dalam menyusun redaksi hadits, tetapi terdapat persamaan dalam maknanya. Atau menurut definisi lain adalah kutipan sekian banyak orang yang menurut adapt kebiasaan mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda tetapi bertemu pada titik persamaan.
4. Manfaat Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir memberi manfaat ilmudh-dharury yakni keharusan untuk menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir sehingga membawa kepada keyakinan yang qath’i .
B. Hadits Ahad
1. Definisi:
Semua hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Dengan demikian, sudah bisa dipastikan bahwa jumlah hadits ahad itu pasti lebih banyak dibandingkan dengan hadits mutawatir.
Bahkan boleh dibilang bahwa nyaris semua hadits yang kita miliki dalam ribuan kitab, derajatnya hanyalah ahad saja, sebab yang mutawatir itu sangat sedikit, bahkan lebih sedikit dari ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem.
2. Klasifikasi Hadits Ahad
Kalau kita berbicara hadits ahad, sebenarnya kita sedang membicarakan sebagian besar hadits. Sehingga kita masih leluasa untuk mengklasifikasikannya lagi menjadi beberapa kelompok hadits ahad.
a. Hadits Masyhur
Hadits masyhur
adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih serta belum mencapai derajat mutawatir. Hadits masyhur sendiri masih terbagi lagi menjadi tiga macam, yaitu masyhur di kalangan para muhadditsin dan golongannya; masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu dan masyhur dikalangan orang umum.
b. Hadits Aziz
Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua orang rawi tersebut terdapar pada satu lapisan saja, kemudian setelah itu orang-orang lain meriwayatkannya.
c. Hadits Gharib
Hadits gharib
adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Klasifikasi hadits Gharib:
1. Gharib mutlak ,
Terjadi apabila penyendiriannya disandarkan pada perawinya dan harus berpangkal pada tabiin bukan sahabat sebab yang menjadi tujuan dalam penyendirian rawi ini adalah untuk menetapkan apakah ia masih diterima periwayatannya atau ditolak sama sekali.
2. Gharib Nisby
Yaitu apabila penyendiriannya mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi, misalnya:
1. Tentang sifat keadilan dan ketsiqahan rawi
2. Tentang kota atau tempat tinggal tertentu
3. Tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu
Jika penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya , maka terbagi menjadi: (1) gharib pada sanad dan matan dan (2) gharib pada sanadnya saja sedangkan matannya tidak
III. Ketentuan Umum Hadits Ahad
Pembagian hadits ahad menjadi masyhur, aziz dan gharib tidaklah bertentangan dengan pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dhaif. Sebab membaginya dalam tiga macam tersebut bukan bertujuan untuk menentukan makbul dan mardud-nya suatu hadits tetapi untuk mengetahui banyak atau sedikitnya sanad.
Sedangkan membagi hadits Ahad menjadi Shahih, Hasan dan Dhaif adalah untuk menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu hadits. Maka hadits Masyhur dan Aziz, masing-masing ada yang shahih, hasan dan dhaif dan tidak semua hadits gharib itu dhaif walaupun hanya sedikit sekali.
Menurut Imam Malik, sejelek-jeleknya ilmu Hadits adalah yang gharib dan yang sebaik-baiknya adalah yang jelas serta diperkenalkan oleh banyak orang.
Sumber Tidak Mengakui Hadits Ahad karena Dianggap Tidak Kuat : http://assunnah.or.id
iva zuhriyah
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits.
2. Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
3. Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
4. Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.
Syarat-syarat Hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
• Rawinya bersifat Adil
• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan
• Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
• Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
• Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
• Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
• Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara’.
Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya
• Hadits Maudhu’: adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
• Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
• Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma’ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
• Hadits Mu’allal (Ma’lul, Mu’all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
• Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
• Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
• Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
• Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
• Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
• Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
• Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
• Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan gugurnya rawi
• Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha’) rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
• Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in.
• Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
• Hadits Munqathi’: adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
• Hadits Mu’dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi’in, tabi’in bersama tabi’it tabi’in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi’in.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan sifat matannya
• Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
• Hadits Maqthu’: adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak
Klasifikasi Hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)
Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :
• Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
• Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
• Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).
Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
• Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
• Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
• Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
• Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
• Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
• Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
• Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
o Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
• Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sanadnya bersambung;
2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
• Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
• Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
• Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
• Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
• Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
• Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat)
• Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
• Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
• Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
• Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
• Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
• Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya
Mengenal Ilmu Hadits
Definisi Musthola'ah Hadits
HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam.
TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga isi hadits.
Unsur-Unsur Yang Harus Ada Dalam Menerima Hadits
Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan orangnya disebut perawi hadits.
Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi
1. As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu :
1. Ahmad
2. Bukhari
3. Turmudzi
4. Nasa'i
5. Muslim
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah
2. As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad
3. Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
4. Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
5. Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
6. Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan Muslim
7. Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah).
Matnu'l Hadits adalah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Gambaran Sanad
Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dll.
Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.
Awal Sanad dan akhir Sanad
Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D.
Klasifikasi Hadits
Klasifikasi hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar hukum) adalah:
1. Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits.
2. Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
3. Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
4. Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.
Syarat-syarat Hadits Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
• Rawinya bersifat Adil
• Sempurna ingatan
• Sanadnya tidak terputus
• Hadits itu tidak berillat dan
• Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
• Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
• Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
• Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
• Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
Klasifikasi Hadits Dhoif berdasarkan kecacatan perawinya
• Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
• Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
• Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
• Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
• Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
• Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
• Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
• Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
• Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
• Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
• Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
• Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan gugurnya rawi
• Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
• Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'in.
• Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
• Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
• Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi'in.
Klasifikasi hadits Dhoif berdasarkan sifat matannya
• Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
• Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.
Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits Dhoif ?
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat Pertama Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.
Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah).
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya."
Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
1. Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
3. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi :
[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
Syarat syarat hadits mutawatir
1. Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta.
3. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits mutawatir.
Klasifikasi hadits Ahad
1. Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
2. Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3. Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi
Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
• Qala ( yaqalu ) Allahu
• Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala
• Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an:
• Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
• Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
• Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
• Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.
Bid'ah
Yang dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya.
Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun cara-cara bid'ah.
Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah, maka itu adalah bid'ah.
"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.
Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi, misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.
Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya) kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal bid'ah.
Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu?
Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan bahwa kabar yang datang pada Hadits ada tiga macam:
1. Yang wajib dibenarkan (diterima).
2. Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
3. Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan Nabi dan boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya:
1. Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
2. Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
3. Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
4. Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).
Sebab-sebab terjadi atas timbulnya Hadits-hadits Palsu
• Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje).
• Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah, para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang0
HADITS MARFU’
Definisi
Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Macam-Macamnya
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
Contohnya
• Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu.
• Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini”.
• Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
• Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud [Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)].
• Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap perbuatan itu.
• Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
• Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu ‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
• Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’.
Sumber :
Ditulis oleh sahabat baik Abu Al Jauzaa
Hadist Mauquf
Definisi
Al-Mauquf berasal dari kata waqf yang berarti berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadits pada shahabat.
Hadits Mauquf menurut istilah adalah “perkataan, atau perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yangbersambung sanadnya kepada Nabi ataupun tidak bersambung.
Contohnya
1. Mauquf Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi : Telah berkata Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu,”Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya ?”.
2. Mauquf Fi’li (perbuatan) : seperti perkataan Imam Bukhari,”Ibnu ‘Abbas menjadi imam sedangkan dia (hanya) bertayamum”.
3. Mauquf Taqriry : seperti perkataan seorang tabi’in : “Aku telah melakukan demikian di depan seorang shahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Hadits Mauquf sanadnya ada yang shahih, hasan, atau dla’if. Hukum asal pada hadits mauquf adalah tidak boleh dipakai berhujjah dalam agama.
Hadits Mauquf
Abu Al-Jauzaa' :, 24 Juli 2008
Definisi :
- Secara bahasa : {اسم مفعول من " الوَقف " كأن الراوي وقف بالحديث عند الصحابي، ولم يتابع سرد باقي سلسلة الإسناد} : Mauquf merupakan isim maf’ul dari kata al-waqfu (berhenti), seolah-olah seorang perawi menghentikan hadits pada shahabat, dan tidak mengikutkan sisa silsilah (rantai) sanad secara berturut-turut.
- Secara istilah : {ما أُضِيف إلى الصحابي من قول أو فعل أو تقرير} Apa-apa yang disandarkan kepada shahabat dari perkataan, perbuatan, atau taqrir.
Penjelasan Definisi :
أي هو ما نُسِبَ أو أُسْنِدَ إلى صحابي أو جَمْع من الصحابة سواء كان هذا المنسوب إليهم قولا أو فعلا أو تقريراً ، وسواء كان السند إليهم متصلا أو منقطعاً .
Yaitu sesuatu yang dinisbatkan atau disandarkan kepada shahabat atau sejumlah shahabat, sama saja apakah hal itu berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir; dan juga sama saja apakah sanad yang sampai kepada mereka itu muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Contoh :
- Mauquf pada perkataan; perkataan rawi : Telah berkata ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu :
حدثوا الناس بما يعرفون ، أتريدون أن يُكَذَّبَ الله ورسولُهُ
“Sampaikanlah kepada manusia menurut apa yang mereka ketahui. Apakah engkau menginginkan Allah dan Rasul-Nya didustakan ?” [1].
- Mauquf pada perbuatan; perkataan Al-Bukhari :
وأَمَّ ابنُ عباس وهو متيمم
“Ibnu ‘Abbas mengimami (shalat), dalam keadaan ia bertayamum” [2].
- Mauquf taqrir; seperti halnya perkataan sebagian tabi’in :
فعلت كذا أمام أحد الصحابة ولم يُنْكِر عَلَيَّ
”Aku telah melakukan demikian di depan salah seorang shahabat, dan beliau tidak mengingkariku sedikitpun”.
Pengunaan Lain :
Istilah mauquf kadangkala juga dipergunakan pada riwayat yang datang dari selain shahabat, akan tetapi hal itu terbatas saja. Seperti halnya dikatakan :
هذا حديث وقفه فلان على الزهري أو على عطاء ونحو ذلك
“Hadits ini di-mauquf-kan oleh Fulan pada Az-Zuhri atau pada ‘Atha’ [3], dan yang semisalnya.
Istilah yang Dipakai oleh Fuqahaa’ Khurasan
Para fuqahaa’ (ahli fiqh) dari daerah Khurasan menyebut hadits marfu’ sebagai khabar, dan hadits mauquf sebagai atsar. Adapun ahli hadits menamakan semuanya sebagai atsar, karena diambil dari kata {أَثَرْتُ الشَّيْءَ} ”Aku meriwayatkan sesuatu”.
Cabang-Cabang Pembahasan yang Terkait dengan Marfu’ Hukman
Terdapat gambaran mengenai hadits mauquf, baik pada lafadh maupun bentuknya. Akan tetapi penelitian cermat yang dilakukan terhadap hakikatnya (oleh para ulama hadits) menunjukkan bahwa hadits mauquf tersebut mempunyai makna hadits marfu’. Oleh karena itu, para ulama memutlakkan hadits semacam itu dengan nama marfu’ hukman (marfu’ secara hukum); yaitu bahwasannya hadits tersebut secara lafadh memang mauquf, namun secara hukum adalah marfu’.
Beberapa gambaran jenis hadits ini :
a) Seorang shahabat yang berkata - yang tidak diketahui bahwa hal tersebut diambil dari ahli kitab – sebuah perkataan yang tidak terdapat ruang ijtihad di dalamnya, tidak terkait dengan penjelasan bahasa atau penjelasan mengenai keterasingannya; misalnya :
1. Khabar mengenai perkara-perkara yang telah lalu seperti awal mula penciptaan.
2. Khabar mengenai perkara-perkara yang akan datang seperti peperangan (di akhir jaman), fitnah (di akhir jaman), atau hal-hal yang berkaitan dengan hari kiamat.
3. Khabar mengenai tetapnya pahala atau dosa/siksa tertentu atas satu amalan, seperti perkataan : ”Barangsiapa yang mengerjakan begini maka baginya balasan begini”.
b) Seorang shahabat yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ruang ijtihad di dalamnya seperti shalat kusuf yang dilakukan oleh para shahabat yang setiap raka’atnya lebih dari dua ruku’.
c) Seorang shahabat yang mengkhabarkan bahwasannya mereka (para shahabat) telah mengatakan atau melakukan satu perbuatan atau memandang tentang satu hal bahwa hal itu tidak mengapa. Maka ini harus dirinci :
1. Jika disandarkan pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka yang benar hadits tersebut adalah marfu’. Seperti perkataan Jabir :
كنا نَعْزلُ على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم
”Bahwasannya kami melakukan ’azl pada masa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam” [4].
2. Jika tidak disandarkan pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, maka hadits tersebut tetap hadits mauquf. Seperti perkataan Jabir :
كنا إذا صعدنا كبرنا، وإذا نزلنا سبحنا
”Apabila kami naik (dalam satu perjalanan) maka kami bertakbir, dan apabila kami turun maka bertasbih” [5].
d) Seorang shahabat berkata : Umirnaa bikadzaa (kami diperintahkan begini), nuhiina bikadzaa (kami dilarang untuk begini), atau minas-sunnati kadzaa (termasuk sunnah adalah begini). Seperti perkataan sebagian shahabat :
أُمِرَ بلال أن يَشْفع الآذان ، ويُوْتِرَ الإقامة
“Bilal diperintahkan agar menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamat” [6].
Seperti perkataan Ummu ’Athiyyah :
نُهينا عن إتباع الجنائز ، ولم يُعْزَم علينا
”Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi (larangan tersebut) tidak disangatkan terhadap kami” [7].
Juga seperti perkataan Abu Qilabah dari Anas :
من السنة إذا تزوج البكر على الثيب أقام عندها سبعا
”Termasuk sunnah adalah apabila engkau menikah dengan seorang gadis/perawan dibanding dengan seorang janda adalah tinggal bersama gadis tersebut selama enam hari” [8].
e) Seorang rawi mengatakan dalam haditsnya ketika menyebutkan seorang shahabat dengan salah satu dari empat kata berikut : yarfa’uhu, yanmiihi, yablughu bihi, atau riwaayatan. Seperti hadits Al-A’raj dari Abu Hurairah secara riwayat (riwaayatan) :
تقاتلون قوماً صِغارَ الأعْيُنِ
“Kalian akan memerangi satu kaum yang perawakannya kerdil” [9]
f) Seorang shahabat menafsirkan sebuah ayat yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat (sababun-nuzul). Seperti perkataan Jabir :
كانت اليهود تقول: من أتي امرأته من دبرها في قُبُلِها جاء الولد أَحْوَلَ ، فأنزل الله تعالى نساؤكم حرث لكم ........ الآية
Orang-orang Yahudi berkata : ”Barangsiapa yang mendatangi istrinya dari arah belakangnya pada farjinya, maka anak yang lahir nanti akan juling matanya”. Maka Allah ta’ala menurunkan ayat : ” Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam.... [QS. Al-Baqarah : 223].[10]
Apakah Hadits Mauquf dapat Dipakai Sebagai Hujjah ?
Hadits mauquf – sebagaimana yang telah diketahui – bisa shahih, hasan, atau dla’if. Akan tetapi, meskipun telah tetap keshahihannya, apakah dapat berhujjah dengannya ? Jawaban atas hal tersebut adalah bahwasannya asal dari hadits mauquf adalah tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Hal itu disebabkan karena hadits mauquf hanyalah merupakan perkataan atau perbuatan dari shahabat saja. Namun jika hadits tersebut telah tetap, maka hal itu bisa memperkuat sebagian hadits dla’if – sebagaimana telah dibahas pada hadits mursal – karena yang dilakukan oleh shahabat adalah amalan sunnah. Ini jika tidak termasuk hadits mauquf yang dihukumi marfu’ (marfu’ hukman). Adapun jika hadits mauquf tersebut dihukumi marfu’ (marfu’ hukman), maka ia adalah hujjah sebagaimana hadits marfu’.
[Taisiru Musthalahil-Hadits oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhan, hal. 98 – 100, Iskandariyyah, 1415 H].
________________________________________
[1] HR. Al-Bukhari no. 127.
[2] HR. Al-Bukhari, kitab At-Tayammum juz 1 hal. 82.
[3] Az-Zuhri dan ‘Atha’ merupakan tokoh dari kalangan tabi’in.
[4] HR. Bukhari no. 4911 dan Muslim no. 1440.
[5] HR. Bukhari no. 2831.
[6] HR. Bukhari no. 578 dan Muslim no. 378.
[7] HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dan Muslim no. 938.
[8] HR. Al-Bukhari no. 4916 dan Muslim no. 1461.
[9] HR. Al-Bukhari no. 2771.
[10] HR. Muslim no. 1435.
Teks asli :
المَوْقوف
1- تعريفه:
أ) لغة: اسم مفعول من " الوَقف " كأن الراوي وقف بالحديث عند الصحابي، ولم يتابع سرد باقي سلسلة الإسناد.
ب) اصطلاحاً: ما أُضِيف إلى الصحابي من قول أو فعل أو تقرير.
2- شرح التعريف :
أي هو ما نُسِبَ أو أُسْنِدَ إلى صحابي أو جَمْع من الصحابة سواء كان هذا المنسوب إليهم قولا أو فعلا أو تقريراً ، وسواء كان السند إليهم متصلا أو منقطعاً .
3- أمثلة:
أ) مثال الموقوف القولي : قول الراوي ، قال على بن أبي طالب رضي الله عنه : " حدثوا الناس بما يعرفون ، أتريدون أن يُكَذَّبَ الله ورسولُهُ "
ب) مثال الموقوف الفعلي: قول البخاري: " وأَمَّ ابنُ عباس وهو متيمم "
ج) مثال الموقوف التقريري : كقول بعض التابعين مثلاً : " فعلت كذا أمام أحد الصحابة ولم يُنْكِر عَلَيَّ " .
4- استعمال آخر له :
يستعمل اسم الموقوف فيما جاء عن غير الصحابة لكن مقيداً فيقال مثلا : " هذا حديث وقفه فلان على الزهري أو على عطاء ونحو ذلك .
5- اصطلاح فقهاء خراسان :
يسمي فقهاء خراسان :
أ) المرفوع: خبراًٍ. ب) والموقوف: أثراً.
أما المحدثون فيسمون كل ذلك " أثراً " لأنه مأخوذ من " أَثَرَتُ الشيء " أي رويته.
6- فروع تتعلق بالمرفوع حُكْماً:
هناك صور من الموقوف في ألفاظها وشكلها، لكن المدقق في حقيقتها يرى أنها بمعنى الحديث المرفوع، لذا أطلق عليها العلماء اسم " المرفوع حكماً " أي أنها من الموقوف لفظاً المرفوع حكماً.
ومن هذه الصور
أ) أن يقول الصحابي ـ الذي لم يُعْرَف بالأخذ عن أهل الكتاب ـ قولا لا مجال لاجتهاد فيه ، ولا له تعلق ببيان لغة أو شرح غريب مثل :
1- الإخبار عن الأمور الماضية، كَبَدْءِ الخَلقْ.
2- أو الإخبار عن الأمور الآتية ، كالملاحم والفتن وأحوال يوم القيامة .
3- أو الإخبار عما يحصل بفعله ثواب مخصوص أو عقاب مخصوص، كقوله من فعل كذا فله أجر كذا.
ب) أو يفعل الصحابي مالا مجال للاجتهاد فيه : كصلاة على رضي الله عنه صلاة الكسوف في كل ركعة أكثر من ركوعين .
ج) أو يخبر الصحابي أنهم كانوا يقولون أو يفعلون كذا أو لا يرون بأساً بكذا .
1- فان أضافه إلى زمن النبي صلي الله عليه وسلم، فالصحيح أنه مرفوع، كقول جابر: " كنا نَعْزلُ علي عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم.
2- وان لم يُضِفْهُ إلى زمنه فهو موقوف عند الجمهور، كقول جابر: " كنا إذا صعدنا كبرنا، وإذا نزلنا سبحنا ".
د) أو يقول الصحابي : " أُمِرْنا بكذا أو نُهينا عن كذا ، أو من السُّنة كذا " مثل قول بعض الصحابة : " أُمِرَ بلال أن يَشْفع الآذان ، ويُوْتِرَ الإقامة " . كقول أم عَطِيَّة " نُهينا عن إتباع الجنائز ، ولم يُعْزَم علينا " وكقول أبي قلابة عن أنس : " من السنة إذا تزوج البِكْرَ على الثَّيَّبِ أقام عندها سبعا "
ه) أو يقول الراوي في الحديث عند ذكر الصحابي بعض هذه اللكمات الأربع وهي : "يَرْفَعُهُ أو يَنْمِيهَ أو يَبْلٌغُ به ، أو رِوَايَةً " كحديث الأعرج عن أبي هريرة روايةً " تقاتلون قوماً صِغارَ الأعْيُنِ .
و) أو يفسر الصحابي تفسيراً له تعلق بسبب نزول آية : كقول جابر : " كانت اليهود تقول: من أتي امرأته من دبرها في قُبُلِها جاء الولد أَحْوَلَ ، فأنزل الله تعالى نساؤكم حرث لكم ........ الآية " .
7- هل يحتج بالموقوف ؟
الموقوف ـ كما عرفت ـ قد يكون صحيحاً أو حسناً أو ضعيفاً لكن حتى ولو ثبتت صحته فهل يحتج به ؟ والجواب عن ذلك أن الأصل في الموقوف عدم الاحتجاج به . لأنه أقوال وأفعال صحابة . لكنها أن ثبتت فأنها تقوي بعض الأحاديث الضعيفة ـ كما مر في المرسل ـ لأن حال الصحابة كان هو العمل بالسنة ، وهذا إذا لم يكن له حكم المرفوع ، أما أذا كان من الذي له حكم المرفوع فهو حجة كالمرفوع .
Hadits Maqthu’
Definisi
Al-Maqthu’ artinya yang diputuskan atau yang terputus. Hadits Maqthu’ menurut istilah adalah : “perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada tabi’I atau orang yang di bawahnya, baik bersambung sanadnya atau tidak bersambung.
Perbedaan antara Hadits Maqthu’ dan Munqathi’ adalah bahwasannya Al-Maqthu’ adalah bagian dari sifat matan, sedangkan Al-Munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadits yang Maqthu’ itu merupakan perkataan tabi’I atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung sampai kepadanya. Sedangkan Munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya dengan matan.
Sebagian ulama hadits – seperti Imam Asy-Syafi’I dan Ath-Thabarani – menamakan Al-Maqthu’ dengan Al-Munqathi’ yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah istilah yang tidak populer. Hal tersebut terjadi sebelum adanya penetapan istilah-istilah dalam ilmu hadits, kemudian menjadi istilah Al-Maqthu’ sebagai pembeda untuk istilah Al-Munqathi’.
Contohnya
1. Al-Maqthu’ Al-Qauli (yang berupa perkataan) : seperti perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah,”Shalatlah dan dia lah yang menanggung bid’ahnya”.
2. Al-Maqthu’ Al-Fi’li (yang berupa perbuatan) : seperti perkataan Ibrahim bin Muhammad Al-Muntasyir,”Adalah Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya dan menghadapi shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”.
Tempat-Tempat yang Diduga Terdapat Hadits Mauquf dan Maqthu’
Kebanyakan ditemukan hadits mauquf dan maqthu’ dalam :
1 Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
2. Mushannaf Abdurrazzaq.
3. Kitab-kitab tafsir : Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnul-Mundzir.
• Ulama Pewaris Nabi
Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Tirmidzi, Ahmad, Ad-Darimi, Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al-Albani)
Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
• Daftar Pengunjung :
• Periwayat Terbanyak
Sahabat Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم yang paling banyak meriwayatkan hadits ialah:
Abu Hurairah 5374 hadits, Ibnu Umar 2630 hadits, Anas bin Malik 2286 hadits, Aisyah 2210 hadits, Ibnu ‘Abbas 1660 hadits, Jabir bin ‘Abdullah 1540 hadits, Abu Sa'id Al-Khudri 1170 hadist, Ibnu Mas'ud 848 hadits, Ibnu 'Amr bin Ash 700 hadits, Abu Dzarr Al- Ghifari 281 hadits, Abu Darda' 179 hadits (Talqih fahum ahli al-atsar karya Ibn Jauzi)
Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku ( para sahabat ) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya ( tabiu’t tabi’in )” (Hadits Bukhari & Muslim)
Imam Malik رحمه الله telah berkata : كُلُّ خَيْرٍ فِي إتِباَعِ مَنْ سَلَف وَ كُلُّ شَرٍّ فِي إبْتِداَعِ مَنْ خَلَفِ
“Setiap kebaikan adalah apa-apa yang mengikuti para pendahulu (salaf), dan setiap kejelekan adalah apa-apa yang diada-adakan orang kemudian (kholaf)" dan “Tidak akan baik akhir dari umat ini kecuali kembali berdasarkan perbaikan yang dilakukan oleh generasi pertama”.
Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم bersabda
“Akan senantiasa ada di antara ummatku sekelompok orang yang tampil membela kebenaran, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sehingga datang (hari Kiamat) ketetapan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (Hadits Muslim)
Hadits Ahad dalam Shahih Bukhari
Oktober 5, 2006
oleh abu salma
CONTOH-CONTOH HADITS AHAD DALAM SHAHIH BUKHARI
SEBAGAI HUJJAH ATAS AMAL, AQIDAH DAN AKHLAK
Tanya Jawab bersama
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حفظه الله
MUKADDIMAH
Pembahasan mengenai hadits ahad dan hubungannya dangan aqidah, atau hukum dan aqidah, itu tidak pernah dibicarakan oleh generasi pertama, kedua maupun ketiga. Khususnya para sahabat tidak pemah memilah atau membagi-bagi hadits, seperti pembagian yang dilakukan oleh sebagian ahli bid’ah bahwa hadits ahad hanya terbatas untuk hukum, sedangkan hadits mutawatir dapat dipakai untuk aqidah. Pembagian seperti ini tidak pernah dikenal, kecuali oleh ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah. Dan fikrah ini terus berkembang sampai pada awal abad kedua puluh, hingga timbul Mu’tazilah gaya baru, atau yang kita kenal dangan Hizbut Tahrir.
KECEROBOHAN HIZBUT TAHRIR
Hizbut Tahrir membagi, hadits mutawatir untuk aqidah dan ahkam, sedangkan hadits ahad dikhususkan untuk masalah hukum. Adapun para sahabat, tabiin dan tabiut tabi’in menerima hadits, jika hadits tersebut sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, mereka tidak membaginya sebagaimana yang dilakukan oleh mu’tazilah dan yang sepaham dangannya. Jadi, para sahabat melihatnya, sah atau tidak, jika sesuai dangan kaidah-kaidah ilmu hadits, maka diterima baik untuk masalah hukum ataupun aqidah.
Jadi pembagian yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, bahwa hadits ahad tidak bisa dipakai dalam aqidah, merupakan pembagian yang muhdats (bidah). Ini bisa dilihat dari beberapa segi. Berdasarkan nash Al Qur’an, banyak ayat (firman Allah) yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi’i. Diantaranya tersebut dalam kitab Ar Risalah, bahwa khabar ahad itu diterima. Demikian juga dari hadits-hadits yang akan kita lihat. Diantaranya, bahwa Rasulullah mengutus sebagian sahabat orang per orang untuk menyampaikan Is-lam.
Pembagian yang dilakukan Hizbut Tahrir tersebut bertentangan dangan Ijma’ para sahabat. Para sahabat tidak pernah menolak hadits yang disampaikan oleh satu sahabat yang lain yang berkenaan dangan aqidah dan contoh tentang ini banyak sekali. Bertentangan dangan kaidah ilmu hadits, yang dapat menunjukkan kebodohan mereka. Memang, perlu diketahui bahwa ahlul bid’ah itu menegakkan manhaj mereka atas dasar kebodohan dan hawa nafsu. Sedangkan Ahlus Sunnah menegakkan manhaj di atas dasar ilmu dan keadilan.
Tampak sangat jelas kebodohan HT yang menolak khabar ahad untuk aqidah, karena hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berbicara tentang Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam untuk menjelaskan Al Qur’an. Tentunya, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah dinul Islam. Alloh berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS An Nahl : 44).
Ayat yang mulia ini, memberkan sejumlah faidah, hukum dan qawaid. Diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al Qur’an. Penjelasan Beliau tentang Al Qur’an ini, agar manusia faham dangan apa yang dimaksudkan oleh AllahPenjelasan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam sangat luas, meliputi apa yang ada dalam Al Qur’an, bahkan yang tidak disebutkan secara terperinci di dalamnya, meskipun secara mujmal (global) terdapat di dalam Al Qur’an. Karena itu, ulama membagi Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjadi beberapa bagian. Pendapat ini disampaikan oleh ulama, diantaranya Imam Syafi’i, kemudian dinukil Imam Baihaqi di dalam kitabnya Al Madkhal, dan Imam Suyuthi di dalam kitab Miftahul Jannah.
1. Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengamalkan atau memerintahkan apa yang diperintahkan oleh Al¬lah. Misalnya, Allah memerintahkan shalat, maka Beliaupun ikut memerintahkan shalat. Allah mengancam orang yang meninggalkan shalat, Beliupun ikut mengancam. Dan begitu seterusnya.
2. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam, menjelaskan apa yang mujmal di dalam Al Qur’an atau Beliau memberikan tambahan¬tambahan, seperti wudhu, tentang makanan yang diharamkan yang tidak disebutkan di dalam Al Qur’an kecuali beberapa macam, dan lain-lain.
3. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan atau melarang sesuatu yang sama sekali tidak ada keterangannya di dalam Al Qur’an, tetapi secara mujmal atau mutlak terdapat dalam Al Qur’an, yakni perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala agar taat kepada Beliau. Allah memerntahkan agar kita taat kepada Allah dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam, disebutkan di dalam Al Qur’an kurang lebih di 44 tempat. Diantaranya:
وَمَا ءَاتَكُوُ الرَسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَاتَّقُو اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ العِقَابِ
Dan Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Al¬lah. Sesungguhnya, Allah sangat keras hukumanNya. (QS Al Hasyr : 7).
Ayat ini bersifat mutlak, memerintahkan kita untuk menerima yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, walaupun tidak tertulis di dalam Al Qur’an. Misalnya, seperti haramnya cincin emas serta kain sutera bagi kaum pria, dan lain sebagainya.Ini merupakan Sunnah dan penjelasan Beliau terhadap Al Qur’an. Dari sini, kita mengetahui bahwa Sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak hanya berbicara tentang satu hukum. Jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam berbicara tentang satu hal -misalnya tentang shalat, zakat, jual beli- tidak hanya terbatas pada hukum tersebut, tetapi mencakup hukum yang lain, karena ini merupakan penjelasan Beliau terhadap Al Qur’an dan Islam secara keseluruhan. Karena itu, Al Qur’an sangat membutuhkan kepada hadits, dan tidak sebaliknya.
Nanti kita akan melihat contoh, bahwa dalam satu hadits kadang berbicara tentang aqidah, akhlak, kisah, hukum dan lain-lain. Sehingga dari satu hadits, kita dapat mengambil faidah yang banyak, puluhan bahkan ratusan. Sehingga, jika kita katakan bahwa hadits ahad tidak dipakai untuk aqidah, maka sebagian besar aqidah akan tertolak.
Kita lihat lagi kejahilan Hizbut Tahrir. Mereka hanya mengikuti hawa nafsu. Diantara kebodohannya, mereka tidak bisa mengetahui adanya keterikatan antara aqidah dan hukum. Padahal keterikatan antara keduanya sangat erat, tak terpisahkan. Karena, kalau memisahkannya, berarti kita menetapkan sesuatu tanpa iman. Misalnya hukum haramnya khamr. Dan menetapkan keharaman khamr itu dangan keyakinan, yang demikian ini merupakan aqidah. Mustahil kita menetapkan hukum tanpa keyakinan bahwa itu telah ditetapkan keharamannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, pemisahan antara aqidah dan hukum merupakan satu kerancuan dalam beragama, jauh dari nur Al Qur’an dan Sunnah.
Hizbut Tahrir dan kawan-kawannya juga tidak istiqamah dalam menjalankan ajaran mereka. Ada sesuatu yang lucu. Kalau mereka mengatakan bahwa hadits ahad tidak bisa diterima dalam aqidah, maka konsekwensinya, jika mereka menyampaikan materi dalam ta’lim, atau manakala menulis kitab, dan khabarnya wajib mutawatir maka tidak boleh satu orang. Ini sesuai dangan teori mereka. Akan tetapi, kenyataannya ustadz-ustadz mereka menyampaikan materi aqidah seorang diri, begitu juga ketika menulis.
CONTOH-CONTOH HADITS AHAD
Sering terjadi, apa yang disangka oleh Hizbut Tahrir sebagal hadits ahad, ternyata bukan ahad. Sebagai contoh tentang adzab kubur. Bahkan mereka sering menyampaikan pengingkarannya terhadap adzab kubur. Padahal hadits tentang masalah ini mutawatir maknawi. Dan masih banyak contoh lainnya.
Hadits apa saja yang mereka tolak? Ini harus diteliti terlebih dahulu, apakah termasuk khabar ahad ataukah mutawatir? Demikian jika kita mengikuti teori mereka. Tetapi ternyata mereka tidak paham yang dimaksud dangan ahad dan mutawatir.
Di depan sudah disampaikan, jika kita menerima teori mereka, maka sebagian besar aqidah akan tertolak. Contoh-contoh hadits ahad yang diterima, disepakati dan dijadikan dalil oleh para ulama dari zaman ke zaman, yang di dalamnya disamping berbicara tentang aqidah, tetapi juga hukum, atau yang lainnya. Karena keduanya berkaitan. Contohnya, kita lihat satu per satu.Contoh pertama, hadits 1 yang kami bawakan dan Shahih Bukhari, yaitu sebuah hadits ahad dan gharib.
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امريء ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
Sesungguhnya amal itu dangan niat, dan sesungguhnya bagi masing-masing orang apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang akan ia dapatkan atau kepada perempuan yang akan dia nikahi maka (hasil) hijrahnya adalah apa yang dia niatkan (Muttafaqun ‘alaih).
Apakah hadits ini tidak berbicara tentang aqidah? Bahkan hadits ini berbicara tentang salah satu diterimanya amal, tentang ikhlas yang merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Hadits ini, jelas merupakan hadits ahad, dan termasuk ke dalam bagian hadits gharib, karena tidak diriwayatkan, kecuali dari jalan Umar bin Khaththab. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Al Qamah bin Waqqash Al Laitsi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim At Taimi. Dan tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Yahya bin Sa’id Al Anshari. Kemudian dari beliau ini diriwayatkan oleh puluhan perawi, bahkan mungkin ratusan. Awalnya mutawatir, akhirnya ahad dan gharib. Ini salah satu contoh hadits yang diterima oleh para ulama, bahkan hampir sebagian besar ulama.Contoh kedua, yaitu hadits nomor 7, yang diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari. Hadits yang panjang, berbicara tentang hukum, aqidah, adab dan lain-lain. Yaitu hadits tentang kisah Hiraklius. Hadits ini telah diterima oleh para ulama. Di dalamnya diceritakan, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan, yang ketika itu ia masih musyrik, berkaitan dengan dakwah Rasulullah. Diantaranya, Hiraklius bertanya kepada Abu Sufyan
ماذا يأمركم قلت يقول اعبدوا الله وحده ولا تشركوا به شيئا واتركوا ما يقول آباؤكم ويأمرنا بالصلاة والصدق والعفاف والصلة
Apa yang diperintahkan oleh Muhammad kepada kalian? Aku (Abu Sufyan) menjawab, ‘Muhammad mengatakan. ‘Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dangan sesuatu apapun, tinggalkanlah apa yang dikatakan (diyakini) oleh bapak-bapak (nenek moyang) kalian’. Muhammad (juga) menyuruh kami untuk shalat, zakat, jujur, menjaga harga diri dan menyambung tali silaturrahim…
Apakah yang dimaksudkan dalam hadits ini bukan aqidah? Demikian ini aqidah, dan hadits ini juga merupakan hadits ahad dan bukan mutawatir. Bahkan dalam hadits yang mulia ini tercapat surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yaitu:
بسم الله الرحمن الرحيم من محمد عبد الله ورسوله إلى هرقل عظيم الروم سلام على من اتبع الهدى أما بعد فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتك الله أجرك مرتين فإن توليت فإن عليك إثم الأريسيين و يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم أن لا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون
Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Hirakla (Hiraklius) pembesar Romawi, keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk, amma ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dangan ajakan Islam, islamlah! Engkau pasti akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu balasan dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu. (Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam membawakan ayat, yang artinya.) Katakanlah. “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dangan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagal llah selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka . “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS Ali Imran:64).
Surat ini mengajak Hiraklius untuk masuk Islam, kembali ke agama tauhid. Apakah seperti ini bukan aqidah? Demikian ini adalah masalah aqidah. Bahkan dalam hadits ini terkumpul masalah akhlak, hukum, aqidah dan sebagainya. Kalau hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagal hujjah dalam masalah aqidah, maka hadits yang mulia ini tertolak.Contoh ke tiga, hadits nomor 8 di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini ahad. Tetapi sepengetahuan kami, hadits ini masyhur, yaitu dari jalan Ibnu Umar,
قال رسول الله صلى الله عليه وآل وسلم : بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمد ا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، وحج البيت ، وصوم رمضان
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Islam dibangun di atas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan (dalam riwayat lain puasa ramadhan baru haji).
Bukankah hadits ini telah disepakati oleh para ulama dan diterima dari zaman ke zaman? Hadits ini menjelaskan tentang rukun-rukun Islam, dan diawali dangan syahadat. Apakah ini bukan masalah aqidah? Di sini kita melihat lagi bahwa satu hadits, selain berbicara masalah aqidah, juga masalah hukum.Contoh ke empat, yaitu hadits nomor 9, di dalam Shahih Bukhari. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dan yang lainnya. Hadits ini, selain ahad juga gharib, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان
Dari Nabi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.
Hadits ini menjelaskan tentang cabang keimanan, Yakni, iman itu mempunyai enam puluh cabang lebih. Dan di riwayat Imam Muslim,
الإيمان بضع و سبعون أو بضع وستون شعبة فأفضلها قول لا إله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق والحياء شعبة من الإيمان
iman itu tujuh puluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan, yang paling rendah ialah menyingkirkan, gangguan dari jalan, dan malu merupakan, salah satu cabang iman.
Hadits ini juga berbicara tentang aqidah, hukum, akhlak dan adab, seperti menghilangkan gangguan dari jalan. Padahal ini merupakan hadits ahad dan gharib. Jikalau kita menerima kaidah mereka (Hizbut Tahrir), maka tertolaklah hadits ini, karena tidak diriwayatkan secara mutawatir.Contoh ke lima, hadits yang ke 14 dan 15. Ini juga merupakan hadits ahad, berbicara tentang aqidah. Yaitu kecintaan kepada Rasulullah dan cara mencapai kesempurnaan cinta kepadanya. Diriwayatkan dari jalan Abu Hurairah
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فوالذي نفسي بيده لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampal aku lebih dicintal daripada bapak dan anaknya.
Dan hadits nomor 15, dari jalan Anas:
قال النبي صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampal aku lebih dicintal daripada bapak dan anaknya dan semua orang.
Ini juga berbicara tentang aqidah.Contoh ke enam, hadits nomor 16, tentang kelezatan atau manisnya iman yang dapat dirasakan oleh seseorang.Diriwayatkan dari Anas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار
Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintal daripada selain keduanya, mencintal seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka.
Hadits ini juga berbicara tentang cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan juga keimanan. Bahwa iman itu punya rasa. Demikian ini adalah masalah aqidah.Contoh tujuh, hadits nomor 26.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل فقال إيمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau: menjawab, Iman kepada Allah dan RasulNya. ” Kemudian ditanya lagi, Lalu apa lagi ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab, Jihad dl jalan Allah’. Kemudian ditanya lagi, ‘Lalu apa lagi ?’ Beliau menjawab, Haji yang mabrur ‘
Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang iman. Bahwa iman itu masuk dalam bagian amal, dan amal itu masuk dalam bagian iman. Oleh karena itu, Imam Bukhari memberikan Bab : Man Qaala Annal Iman Huwal Amal, bahwa amal itu masuk dalam iman. Sehingga, ketika Nabi ditanya tentang amal yang paling afdhal, Beliau menjawab iman kepada Allah.Hadits ini telah diterima oleh semua ulama Ahlus Sunnah untuk menetapkan, bahwa amal itu masuk dalam bagian iman. Yang tentunya akan menjelaskan kepada kita, bila iman itu bisa bertambah karena perbuatan ta’at, dan bisa berkurang karena perbuatan maksiat.
Contoh ke delapan, hadits nomor 32, darijalan Abdullah bin Mas’ud.
لما نزلت { الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم } قال أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أينا لم يظلم فأنزل الله { إن الشرك لظلم عظيم }
Ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang¬-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dangan kezhaliman (syirik), mereka Itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (OS. Al An’am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata, Siapakah diantara klta yang tidak berbuat zhalim?’ lalu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar.
Ketika ayat Al An’am 82 diturunkan, para sahabat merasa susah dan berat. Mereka mengatakan, siapakah diantara kita yang tidak menzhalimi dirinya? Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan kepada mereka, bahwa bukan itu yang dimaksud; tidakkah kalian mendengar perkataan Luqman kepada anaknya? Jadi zhulm (kezhaliman) di sini, maksudnya adalah syirik. Ini juga berbicara tentang aqidah, antara tauhid dan syirik.Contoh ke sembilan, hadits no. 39, dari Abu Hurairah
إن الدين يسر
Sesungguhnya agama ltu adalah mudah
Ini juga berbicara tentang aqidah, bahkan berbicara tentang agama ini secara keseluruhan. Bahwa ajaran Islam, pengamalan dan dakwahnya adalah mudah. Apakah ini tidak berbicara aqidah? Hadits ini berbicara tentang Islam, dan tentunya kaffah. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada kita untuk masuk Islam secara kaffah (menyeluruh).Contoh ke sepuluh, hadits nomor 50. Yaitu hadits tentang Jibril yang datang kepada Nabi lalu bertanya Islam, iman dan ihsan, dan di Shahih Bukhari diringkas.
ما الإيمان قال أن تؤمن بالله وملائكته وبلقائه ورسله وتؤمن بالبعث قال ما الإسلام قال الإسلام أن تعبد الله ولا تشرك به وتقيم الصلاة وتؤدي الزكاة المفروضة وتصوم رمضان قال ما الإحسان قال أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Apakah iman ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dangan-Nya, para rasul-Nya dan beriman kepada harl kebangkitan.’ Jibril bertanya, Apakah Islam? Rasulullah bersabda, ‘Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang walib, puasa Ramadlan.’ Jibril bertanya, Apakah lhsan? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ‘Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-¬akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu …
Hadits ini termasuk ahad.Contoh ke sebelas, hadits nomor 53, yaitu hadits tentang utusan Abdul Qais yang datang kepada Rasulullah, lalu menyambut mereka dan memerintahkan kepada mereka empat perkara dan melarang dari empat perkara.
أمرهم بالإيمان بالله وحده قال أتدرون ما الإيمان بالله وحده قالوا الله ورسوله أعلم قال شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وأن تعطوا من المغنم الخمس
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintah mereka agar beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bertanya, ‘Tahukah kalian, apakah beriman kepada Allal semata itu? Mereka menjawab, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Beliau menerangkan, syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam itu Rasulullah, menegakkan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadlan dan memberikan seperlima dari ghanimah…
Ini juga berbicara tentang iman.Contoh ke duabelas, hadits nomor 1331, dan di beberapa tempat lainnya, dari jalan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم بعث معاذا رضى الله تعالى عنه إلى اليمن فقال ادعهم إلى شهادة أن لا إله إلا الله وأني رسول الله فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله قد افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة فإن هم أطاعوا لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengutus Mu’adz Radhiallahu ‘anhu ke Yaman, lalu Rasulullah bersabda, ‘Serulah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan bahwasanya aku Rasulullah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.
Hadits yang mulia ini diterima oleh seluruh ulama. Apakah hadits ini bukan berbicara masalah aqidah? Bahkan ini merupakan asas dalam Islam. Tidak ada Islam tanpa syahadatContoh ketigabelas, dari selain Bukhari. Yaitu hadits yang masyhur dan telah diterima oleh para ulama.
إن الرقى والتمائم والتولة شرك
Sesungguhnya mantera-mantera (yang bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik.
Tentunya mantera-mantera yang dimaksudkan disini adalah mantera yang bathil. Karena ruqyah (pengobatan dangan bacaan) itu ada dua, ada yang syar’i dan yang tidak syar’i. Hadits ini juga ahad, dan masih banyak lagi contoh-contoh tentang hadits ahad yang berkaitan dangan aqidah, dan diterima oleh para ulama.
PEMBAGIAN HADITS MENJADI MUTAWATIR DAN AHAD
Pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, memang ada dalam kaidah ilmu hadits. Namun perlu diketahui, bahwa para ulama membagi hadits menjadi mutawatir dan ahad bukan untuk menolak hadits.
Pembagian itu merupakan tinjauan ilmiah, berdasarkan jumlah (banyak atau sedikitnya) perawi yang meriwayatkannya. Sebagian tinjauan mereka berdasarkan shahih dan lemahnya suatu riwayat.
Berdasarkan jumlah perawinya, jika perawi suatu hadits itu banyak, maka para ulama mengatakan bahwa hadits itu mutawatir, meskipun mereka masih berbeda pendapat tentang batasan banyak atau sedikit. Juga ada definisi lain tentang mutawatir ini, yaitu jika hadits tersebut diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama. Definisi ini dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Adapun hadits ahad, yaitu hadits di bawah mutawatir. Mereka membagi menjadi:
- Gharib, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat saja, sebagaimana hadits pada contoh pertama dan ke empat di atas.
- Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh dua or¬ang sahabat, walaupun lafazhnya agak berbeda.
- Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang sahabat yang berbeda.
Ini semua termasuk dalam bagian hadits ahad. Maka disini ada pembagian hadits menjadi hadits shahih, hasan dan dha’if.
Jika perawinya lebih dari tiga, maka disebut mutawatir. Demikian jika mengumpulkan antara dua definisi diatas. Contoh hadits seperti ini sangat banyak. Misalnya:
من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
Barangsiapa yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.
Hadits tentang azab kubur ini juga mutawatir maknawi (secara makna). Begitu juga tentang turunnya Isa -di akhir zaman, munculnya Dajjal, haudh (telaga) Nabi, tentang bumi berlapis tujuh. Dan masih banyak lagi contohnya.Adapun berdasarkan difinisi Syaikhul Islam, yaitu hadits yang diketahui keshahihannya dan diterima secara mutlak oleh para ulama, bisa juga disebut mutawatir. Ini sangat banyak sekali, terutama hadits¬-hadits yang berada di shahih Bukhari dan Muslim
(Majalah as-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M)
from → Hadits
Langganan:
Postingan (Atom)