Jumat, 11 Februari 2011

Aqidah Akhlak

1. Hasan Al Basri

Nama lengkapnya al Hasan bin Ai al Hasan Abu Sa’id. Dia dilahirkan di Madinah pada tahun 221 Hijriah/642 Masehi dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H/728 M. ia adalah putra Zaid bin Tasabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretris Nabi Muhammad Saw. Ia memperoleh pendidikan di Basrah. Ia sempat bertemu dengan sahabat-sahabt Nabi, termasuk tujuh puluh di antara mereka adalah yang turut serta dalam perang Badr.
Ibunya adalah hamba sahaya Ummu Salamah, istri Nabi. Ia tumbuh dalam lingkungan orang saleh yang mendalam pengetahuan agamanya.
Hasan Al Basri tumbuh menjadi seorang tokoh diantara tokoh-tokoh yang paling terkemuka pada zamannya, dan ia termashur karena kesalehan dan keberaniannya. Secara blak-blakkan ia membenci sikap kalangan atas yang hidup berpoya-poya. Sementara teolog-teolog dari kalangan muktazilah memandang Hasan sebagai pendiri mashabnya Amr bin Ubaid dan Wasil bin Atha adalah dua di antara murid-muridnya. Sedangkan dalam jajaran sufi, ia diakui sebagai salah satu tokoh yang paling besar pada masa awal sejarahnya. Ia dikenal juga sebagai orator piawai sehingga berbagai kata dan ungkapan yang disampaikannya, banyak dikutip oleh pengarang-pengarang Arab dan tidak sedikit di anatara surat-suratnya yang masih dapat kita saksikan hingga sekarang dan terpelihara rapi.
Hasan Al Basri adalah seorang zahid yang termasyhur di kalangan tabi’in. prinsip ajarannya yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah Nabi, bahkan beliaulah yang mula-mula memperbincangakan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup kerohanian, tenang ilmu akhlak yang erat hubungannya dengan cara mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela.
Dasar pendirian HasanAl Basri adalah hidup zuhud terhadap dunia, menolak segala kemegahan, hanya semata menuju kepada Allah, tawakal, khauf dan raja’. Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah. Tetapi ikutilah ketakutan dengan pengharapan. Takut akan murkanya, tetapi mengaharp akan rahmatnya.
Al Taftazani mengatakan konsep zuhud Hasan Al Basri berdasarkan rasa takut yang mendalam kepada Allah Swt. Mengenai hal ini, Al Sya’rani dalam kitabnya At Tabaqat berkata : “ Dia penuh diliputi rasa takut sehingga neraka seakan di ciptakan untuk dirinya seorang” sedang Ibn Abi Al Hadid dalam Nahj Al Balagah menulis sebagai berikut : “jika seorang menemui Hasan Al Basri, dia pasti mengira Hasan sedang tertimpa suatu musibah. Hal ini karena rasa sedih dan rasa takutnya.”
Kemudian ucapan-ucapan beliau yang lain, sebagaimana di kutip Prof.Dr.Hamka, adalah sebagai berikut :
- “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tentram, lebih baik dari pada perasaan tentrammu dari pada kemudian menimbulkan takut”
- “Tafakur membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kepada meninggalkannya. Barang yang fana walaupun bagaimana banayaknya, tidaklah dapat menyamai barang yang baqa, walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negri yang cepat dating dan cepat pergi ini, dan penuh dengan tipuan”
- “Dunia ini adalah seorang perempuan janda tua yang telah bongkok”
- “Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita di waktu sore. Karena dia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah gerangan balasana yang akan ditmpakan Tuhan. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya yang sedang mengancam
- “Patutlah orang Insyaf bahwa mati sedang mengancamnya dan kiamat menagih janjinya.”
- “Banyak berduka cita di dunia memperteguh semangat beramal saleh.
Dalam hubungan ini Dr Muhammad Mustafa Helmi, sebagai mana dikutip Prof. Dr. hamka, mengatakan bahwa zuhud beliau itu, yang didasarkan kepada takut, ialah karena takut akan siksaaan Tuhan dalam Neraka. Tetapi setelah di telaah lebih dalam, kata Hamka, ternyata bukanlah takut akan neraka itu yang menjadi sebab. Yang menjadi sebab ialah perasaan dari orang yang berjiwa besar akan kekuranagn dan kelalaian diri. Itulah sebabnya lebih tepat dikatakan bahwa dasar zuhud Hasan Al Basri bukanlah takut akan amsuk neraka, tetapi takut akan murka Tuhan. Dalam hal seperti ini, orang kadang-kadang bersikaf, biarlah masuk neraka, dari pada kena murka.

2. Rabi’ah al Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Ummu al-Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya bercorak mitos. Dia lahir di Bashrah pada tahun 96 H / 713 M, lalu hidup sebagai hamba sahaya keluarga Atik. Dia berasal dari keluarga miskin, dan dari kecil ia tinggal di kota kelahirannya. Dikota ini namanya sangat harum sebagai manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang shaleh semasanya. Menurut sebuah riwayat dia meninggal pada tahun 185 H / 801 M. Orang-orang mengatakan bahwa dia dikuburkan didekat kota Jerussalem.
Rabi’ah al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dipandang mempunyai saham yang besar dalam memperkenalkan konsep cinta (al-hubb) khas sufi kedalammistisisme dalam islam. Sebagai seorang zahidah, dia selalu menampik setiap lamaran beberapa pria shaleh.
Diantara ucapannya yang terkenal tentang zuhud ialah – sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya al-Kasyf al-Mahjub :
“suatau ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah : ‘ Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu! ‘Rabi’ah menjawab : ‘aku ini begitu malu memenita hal-hal duniawi kepada pemeliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepda orang yang bukan pemiliknya?”
Seperti telah disinggung diatas, isi pokok ajaran tasawuf Rabi’ah adalah tentang cinta. Karena itu, ia mengabdi melakukan amal soleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi akan cintanya kepada Allah,. Cintanya lyang mendorongnya yang inggin selalu dekat dengan Allah, dan cinta itu pulalah yang embuat ia sedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan dzat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Karena seluruh lorong hatinya telah di penuhi cinta ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci yang lain. Seseorang pernah bertanya kepadanya : “ Apakah kau benci kepada setan?” Ia menjawab : “ Tidak, cinta ku kepada Tuhan tidak meninggalklan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.” Karena begitu cintanya kepda Tuhan, Ia pernah ditanaya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad Saw ia menjawab : “ saya cinta kepada Nabi, tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cintaku kepada makhluk.”
Inilah beberapa ucapan rasa cinta yang diunghkapkan oleh Rabi’ah Al Adawiah. Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwa nya, sehingga – seperti telah disebutkan diatas – ia menolak seluruh tawaran kawin denagan alasan bahwa dirinya adalah milik Allah, yang dicintainya; dan siapa yang ingin kawin dengannya haruslah meminta ijin kepada Allah. Dengan demikian, menurut Altaftazani, dapat disimpulkan bahawa Rabi’ah Al Adawiah, pada abad 2 H, telah merintis konsep zuhud dalam islam berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi, ia tidak hanay berbicara cinta ilahi, namun juga menguraikan ajaran-ajaran taswuf yang lain, seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, ridho dan lain sebagainya.
3. Abu yazid al bustami
Beliau mempunyai nama lengkap Abu Yazid Thaifur bin Isa, beliau dilahirkan di Bustham Khurasan pada tahun 188 Hijriyah dan beliau lebih dikenal dengan nama Abu Yazid Al Busthami. Beliau wafat di Bustham pada tahun 261.
Abu Yazid dikenal sebagai anak saleh dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ibunya dengan tekun membimbing dan megirimnya untuk belajar agama ke masjid. Setelah dewasa beliau melanjutkan belajar agama ke berbagai daerah untuk berguru kepada ulama-ulama terkenal seperti Abu Ati dari Sind.
Kehidupannya sebagai seorang sufi ditempuh dalam perjalanan yang cukup panjang, kira-kira dalam waktu 30 tahun beliau berkelana menyusuri padang pasir, hidup dengan zuhud, makan serba sedikit, tidur yang tidak begitu banyak. Dari kezuhudannya itu beliau dapat mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh ma’rifat yang hakiki untuk dapat mengenal Allah.
4. al hallajj
A. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
Al-Badawi . Beliau dilahirkan sekitar tahun 244 H (858 M) di Thus dekat Baida (Parsi) , sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Ia dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas .
Pada masa remaja ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-Tustariy (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tastury dan pindah ke Basrah dengan alasan yang tidak jelas. Louis Massiqnon menyebutkan bahwa Sahl at-Tustury adalah guru pertama al-Hallaj dalam tasawuf yang mengajarinya tentang kecintaan dan kesederhanaan sufi, menyenangi kesunyian dan kebersihan jiwa serta tafsir al-Qur’an .
Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Bashrah dan belajar kepada Shufi ‘Amar Al-Maliki, di tahun 264 H (878 M). Dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Dalam konteks umum, Baghdad di akhir abad 3/9, awal 4/10 adalah sebuah tempat yang menggairahkan dan berbahaya : bagi kaum mistikus yang tidak lebih kecil daripada kaum politikus dan pujangga, banker dan pemikir, hakim dan ahli tulis, kaum tradisonalis dan filsuf . Setelah itu dia pun pergilah mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam Ilmu Tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang Syekh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntunannya. Dan tiga kali dia telah naik Haji ke Mekkah. Dalam perjalanannya dan pertemuannya dengan ahli-ahli sufi itu, timbulah pribadi dan pandangan hidupnya sendiri sehingga dalam usia 53 tahun ia telah menjadi pembicaraan ulama pada waktu itu karena paham tasawufnya yang berbeda dengan yang lain. Karena pahamnya itu, seorang ulama fiqh terkemuka , Ibnu Daud Al-asfahani mengelurkan fatwa yang mengatakan bahwa ajaran Al-hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini al-Hallaj dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun di dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya.
Dari Baghdad melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disanalah dia bersembunyi empat tahun lamanya, dengan tidak merubah pendirian dan pandangan hidupnya. Akhirnya di tahun 301 (903 M) dapat juga dia ditangkap kembali, dimasukan pula ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 301 H (903 M) diadakanlah persidangan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum bunuh dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian di bakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Al-hallaj adalah seorang alim dalam ilmu agama islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal Al-Qur’an dan surat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadits, serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf.
Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibnu Nadim mencatat bahwasanya karangannya tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagian daripadanya adalah :
• Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
• Kitab Al Ushul wal Furu’.
• Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
• Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
• Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
• Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
• Kitab “Hua, Hua”.
• Kitab At Thawwasin.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu, dan kitab At- Thawasin merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga kata Al-Taftazani mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab itu berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
B. Ajaran Al-Hallaj : Al-Huluul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ Sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks arab pernyataan tersebut berbunyi :

إ ن الله ا صطفى ا جسا ما حل فيها بمعا نى الر بو بية و ا زا ل عنها معا نى البشر ية.

“Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dalam bukunya bernama al-thawasin.
Faham al-Huluul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham
(ajaran) al-ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep al-Huluul-nya al-Hallaj, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran al-Huluul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh .
Helbert W. Mason mengatakan Al-Huluul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Tetapi dalam kesimpulannya konsep al-Huluul-nya al-Hallaj bersifat majaziy, tidak dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqiy) . Menurut Nashiruddin at-Thusiy, al-Huluul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifst-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk. Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada dzatnya dan Ia pun cinta pada
zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar